BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Informed
concent bukan hal yang baru dalam bidang pelayanan kesehatan. Informed concent
telah diakui sebagai langkah yang paling penting untuk mencegah terjadinya
konflik dalam masalah etik.
Informed
choice berarti membuat pilihan setelah mendapatkan penjelasan tentang
alternatif asuhan yang akan dialaminya, pilihan (choice) harus dibedakan dari
persetujuan (concent). Persetujuan penting dari sudut pandang bidan, karena itu
berkaitan dengan aspek hukum yang memberikan otoritas untuk semua prosedur yang
dilakukan oleh bidan. Sedangkan pilihan (choice) lebih penting dari sudut
pandang wanita (pasien) sebagai
konsumen penerima jasa asuhan kebidanan. Tujuannya
adalah untuk mendorong wanita memilih asuhannya.
Peran bidan tidak
hanya membuat asuhan dalam manajemen asuhan kebidanan tetapi juga menjamin
bahwa hak wanita untuk memilih asuhan dan keinginannya terpenuhi. Hal ini
sejalan dengan kode etik internasional bidan yang dinyatakan oleh ICM 1993,
bahwa bidan harus menghormati hak wanita setelah mendapatkan penjelasan dan
mendorong wanita untuk menerima tanggung jawab untuk hasil dari pilihannya.
B. Masalah
Masalah yang
ingin dibahas dalam penulisan makalah ini adalah bagaimana tentang penerapan
etika dalam Informed Consent?
C. Tujuan
Tujuan yang
ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah agar dapat mendeskripsikan
tentang penerapan etika dalam Informed Consent.
D. Manfaat
Manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini
adalah :
a. Penulis
dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang penerapan etika dalan
Informed Consent
b. Pembaca
dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang penerapan etika dalan
Informed Consent
BAB II
PEMBAHASAN
A. Etika
Profesi Kebidanan
1. Konsep Dasar Etika
Etika adalah penerapan dari proses dan teori filsafat
moral pada situasi nyata. Etika berpusat pada prinsip dasar dan konsep bahwa
manusia dalam berfikir dan tindakannya didasari nilai-nilai (Wahyuningsih,
2006).
Arti etika menurut K. Bertens
dirumuskan sebagai berikut:
a. Kata etika
dapat digunakan dalam arti nilai dan norma moral yang menjadi pegangan
bagi seseorang atau suatu kelompok
dalam mengatur tingkah lakunya.
b. Etika berati
kumpulan asas atau moral, yang dimaksud di sini adalah kode etik.
c. Etika
mempunyai arti ilmu tentang apa yang baik atau buruk.
2.
Prinsip etika dan moralitas
a) Etika
Etika dalam pelayanan kebidanan merupakan issu utama
diberbagai tempat, dimana sering terjadi karena kurang pemahaman para praktisi
pelayanan kebidanan terhadap etika. Bidan sebagai pemberi pelayanan harus
menjamin pelayanan yang profesional dan akuntabilitas serta aspek legal dalam
pelayanan kebidanan. Bidan sebagai praktisi pelayanan harus menjaga
perkembangan praktek berdasarkan evidence based. Sehingga di sini
berbagai dimensi etik dan bagaimana pendekatan tentang etika merupakan hal yang
penting untuk digali dan dipahami.
Moralitas merupakan suatu gambaran manusiawi yang
menyeluruh, moralitas hanya terdapat pada manusia serta tidak terdapat pada
makhluk lain selain manusia. Moralitas adalah sifat moral atau seluruh asas dan
nilai yang menyangkut baik buruk. Kaitan antara etika dan moralitas adalah,
bahwa etika merupakan ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku dan moral atau
ilmu yang membahas tentang moralitas. Moral adalah mengenai apa yang dinilai
seharusnya oleh masyarakat.
Ø
Prinsip kode etik terdiri dari:
1.
Menghargai otonomi
2. Melakukan
tindakan yang benar
3. Mencegah
tindakan yang merugikan
4.
Memperlakukan manusia secara adil
5.
Menjelaskan dengan benar
6. Menepati
janji yang telah disepakati
7. Menjaga
kerahasiaan (Wahyuningsih, 2006).
1)
Fungsi Kode Etik
Kode etik
berfungsi sebagai berikut :
·
Memberi panduan dalam membuat keputusan tentang
masalah etik
·
Menghubungkan nilai atau norma yang dapat
diterapkan dan dipertimbangkan dalam memberi pelayanan
·
Merupakan cara untuk mengevaluasi diri
·
Menjadi landasan untuk memberi umpan balik bagi rekan
sejawat
·
Menginformasikan kepada calon perawat dan bidan
tentang nilai dan standar profesi
2)
Penetapan Kode Etik
Kode etik
hanya dapat ditetapkan oleh organisasi untuk para anggotanya. Kode etik suatu
organisasi akan mempunyai pengaruh yang kuat dalam menegakkan disiplin di
kalangan profesi, jika semua individu yang menjalankan profesi yang sama
tergabung dalam suatu organisasi profesi. Jika setiap orang yang menjalankan
suatu profesi secara otomatis tergabung dalam suatu organisasi atau ikatan
profesi, barulah ada jaminan bahwa profesi tersebut dapat dijalankan secara
murni dan baik, karena setiap anggota profesi yang melakukan pelanggaran
terhadap kode etik dan dikenai sanksi.2,10
3)
Tujuan Kode Etik
Pada
dasarnya, kode etik sutu profesi diciptakan dan dirumuskan demi kepentingan
anggota dan organisasi. Secara umum, tujuan menciptakan kode etik adalah
sebagai berikut :
·
Menjunjung tinggi martabat dan citra profesi. ”Image’
pihak luar atau masyarakat terhadap suatu profesi perlu dijaga untuk mencegah
pandangan merendahkan profesi tersebut. Oleh karena itu, setiap kode etik
profesi akan melarang berbagai bentuk tindakan atau kelakuan anggota profesi
yang dapat mencemarkan nama baik profesi di dunia luar sehingga kode etik
disebut juga ”kode kehormatan”.
·
Menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota.
Kesejahteraan yang dimaksud adalah kesejahteraan material dan spiritual atau
mental. Berkenaan dengan kesejahteraan material, kode etik umumnya menetapkan
larangan-larangan bagi anggotanya untuk melakukan perbuatan yang merugikan
kesejahteraan. Kode etik juga menciptakan peraturan-peraturan yang mengatur
tingkah laku yang tidak pantas atau tidak jujur para anggota profesi ketika
berinteraksi dengan sesama anggota profesi
·
Meningkatkan pengabdian para anggota profesi. Kode
etik juga bnerisi tujuan pengabdian profesi tertentu, sehingga para anggota
profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tanggung jawab pengabdian
profesinya. Oleh karena itu, kode etik merumuskan ketentuan-ketentuan yang
perlu dilakukan oleh para anggota profesi dalam menjalankan tugasnya.
·
Meningkatkan mutu profesi. Kode etik juga memuat
norma-norma serta anjuran agar profesi selalu berusaha meningkatkan mutu
profesi sesuai dengan bidang pengabdiannya. Selain itu, kode etik juga mengatur
bagaimana cara memelihara dan meningkatkan mutu organisasi profesi lain dan masyarakat tentang nilai moral.
B. Informed
Consent
Informed concent berasal dari dua kata, yaitu informed
(telah mendapat penjelasan / keterangan / informasi) dan concent (memberikan
persetujuan / mengizinkan). Informed concent adalah suatu persetujuan yang
diberikan setelah mendapatkan informasi.
Menurut Veronika Komalawati pengertian informed
concent adalah suatu kesepakatan atau persetujuan pasien atas upaya medis yang
akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah pasien mendapatkan informasi
dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya
disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.
Dalam Permenkes no 585 tahun 1989 ( pasal 1), Informed concent ditafsirkan
sebagai persetujuan tindakan medis adalah persetujuan yang diberikan pasien
atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang dilakukan
terhadap pasien tersebut.
1.
Dasar Hukum
Informed Consent
Di Indonesia
perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai dengan
munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed consent”
melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi
dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau
Informed Consent”. Hal ini tidak berarti para dokter dan tenaga kesehatan di
Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan “informed consent” karena jauh
sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif, dokter selalu
meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau keluarganya sebelum
tindakan operasi itu dilakukan.
Baru sekitar tahun 1988 di Indonesia ada peraturan dan pedoman bagi para dokter untuk melaksanakan konsep informed consent dalam praktek sehari-hari yakni berupa fatwa PB. IDI No. 319/PB/A.4/88 tentang informed consent, yang kemudian diadopsi isinya hampir sebagian besar oleh Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik.
Baru sekitar tahun 1988 di Indonesia ada peraturan dan pedoman bagi para dokter untuk melaksanakan konsep informed consent dalam praktek sehari-hari yakni berupa fatwa PB. IDI No. 319/PB/A.4/88 tentang informed consent, yang kemudian diadopsi isinya hampir sebagian besar oleh Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik.
Dengan
adanya peraturan Permenkes No.585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan
medik, maka peraturan tersebut menjadi aturan pelaksanaan dalam setiap tindakan
medis yang berhubungan dengan persetujuan dan pemberian informasi terhadap
setiap tindakan medik. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa setiap tindakan
medik harus ada persetujuan dari pasien yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1)
Permenkes No.585 Tahun 1989, yang berbunyi “semua tindakan medik yang akan
dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan”.
Adanya
pengaturan mengenai informed consent yang terdapat dalam Permenkes No.585 Tahun
1989 tersebut juga diperkuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran yang terdapat pada Pasal 45 ayat (1) sampai (6) yang
berbunyi: Pasal 45 ayat
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gig
iyang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan
secara lengkap.
(3) Penjelasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf ayat (2)
dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan.
(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang
ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (30), ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri
Dari Ketentuan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran tersebut terutama pada pasal 45 ayat (6) menyebutkan
bahwa pengaturan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran (informend
consent) diatur oleh peraturan menteri yaitu Permenkes No.585 Tahun 1989.
2. Bentuk Informed Consent
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna
jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis
(petugas kesehatan) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga
bentuk, yaitu :
1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang
mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No.
585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir
3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar,
mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien
memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko
yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
2. Persetujuan
Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan
tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
3. Persetujuan
dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan
disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya
sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Tujuan Informed Consent:
1. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan petugas kesehatan
yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya
yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya.
2. Memberi
perlindungan hukum kepada petugas kesehatan terhadap suatu kegagalan dan bersifat
negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap
tindakan medik ada melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008
Pasal 3 )
3.
Elemen
Informed Consent
Ada
tiga element yang membentuk Informed Consent, yaiutu :
a)
Threeshold elements
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena
sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang
kompeten (cakap). Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat
keputusan medis. Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya
merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi hingga
memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat
kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan
alasan yang reasonable).
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa,
sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa
diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah.
Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila mempunyai
penyakit mental sedemikian rupa sehingga kemampuan membuat keputusan menjadi
terganggu.
b)
Information elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan understanding (pemahaman). Pengertian ”berdasarkan pemahaman yang
adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure)
sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai pemahaman yang adekuat. Dalam
hal ini, seberapa ”baik” informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat
dari 3 standar, yaitu :
a.
Standar
Praktik Profesi
Bahwa kewajiban memberikan
informasi dan kriteria ke-adekuat-an informasi ditentukan bagaimana biasanya
dilakukan dalam komunitas tenaga medis. Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa
kebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat,
misalnya resiko yang ”tidak bermakna” (menurut medis) tidak diinformasikan,
padahal mungkin bermakna dari sisi sosial pasien.
b.
Standar
Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan
atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi, sehingga informasi
yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat keputusan.
Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional
medis memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.
c.
Standar
pada reasonable person
Standar ini merupakan hasil
kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi
yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.
c) Consent elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan authorization (persetujuan).
Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan.
Pasien juga harus bebas dari ”tekanan” yang dilakukan tenaga medis yang
bersikap seolah-olah akan ”dibiarkan” apabila tidak menyetujui tawarannya.
Consent
dapat diberikan :
1. Dinyatakan (expressed)
2. Dinyatakan secara lisan
3. Dinyatakan secara tertulis, pernyataan tertulis diperlukan apabila
dibutuhkan bukti di kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang
beresiko mempengaruhi kesehatan penderita secara bermakna. Permenkes tentang
persetujuan tindakan medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus
memperoleh persetujuan tertulis.
4. Tidak dinyatakan (implied), Pasien tidak menyatakannya, baik secara
lisan maupun tertulis, namun melakukan tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan
jawabannya. Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent
jenis inilah yang paling banyak dilakukan dalam praktik sehari-hari. Misalnya
adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan lengannya
ketika akan diambil darahnya.
4)
Etik Dalam
Informed Consent
Langkah-langkah
pencegahan masalah etik, dalam pencegahan konflik etik dikenal ada 4, yang
urutannya adalah sebagai berikut :
1) Informed concent
2) Negosiasi
3) Persuasi
4) Komite etik
Informed concent merupakan butir yang paling penting,
kalau informed concent gagal, maka butir selanjutnya perlu dipergunakan secara
berurutan sesuasi dengan kebutuhan.
Informed concent adalah persetujuan yang diberikan
oleh pasien/walinya yang berhak terhadap bidan untuk melakukan suatu tindakan
kebidanan terhadap pasien sesudah memperoleh informasi lengkap dan yang
dipahaminya mengenai tindakan itu.
Ada dua
dimensi dalam proses informed concent :
a.
Dimensi yang menyangkut hukum
Dalam hal ini
informed concent merupakan perlindungan bagi pasien terhadap bidan yang
berperilaku memaksakan kehendak, dimana proses informed concent sudah memuat :
1. Keterbukaan informasi dari bidan kepada pasien
2. Informasi tersebut harus dimengerti pasien
3. Memberikan kesempatan kepada pasien untuk
memberikan kesempatan
yang baik
b. Dimensi yang
meyangkut etik
Dari proses informed concent terkandung nilai etik
sebagai berikut :
1. Menghargai
kemandirian/otonomi pasien
2. Tidak
melakukan intervensi melainkan membantu pasien bila dibutuhkan/diminta sesuai
dengan informasi yang telah dibutuhkan
3. Bidan
menggali keinginan pasien baik yang dirasakan secara subjektif maupun sebagai
hasil pemikiran yang rasional
Alur yang senantiasa berurutan, pada tahap pertama
bidan dengan pasien dihubungkan dengan suatu dialog, forum informasi
(informed), kemudian terjadi pilihan (choice) dan pengambilan keputusan.
Terdapat 2 keluaran pengambilan keputusan:
1. Menyetujui
sehingga menandatangani form persetujuan
2. Menolak
dengan menandatangani form penolakan.
Sehingga baik persetujuan maupun penolakan sebaiknya
dituangkan dalam bentuk tertulis, jika terjadi permasalahan, maka secara hukum
bidan mempunyai kekuatan hukum karena mempunyai bukti tertulis, jika terjadi
permasalahan, maka secara hukum bidan mempunyai kekuatan hukum karena mempunyai
bukti tertulis yang menunjukkan bahwa prosedur pemberian informasi telah
dilalui dan keputusan ada di tangan klien untuk menyetujui atau menolak. Hal
ini sesuai dengan hak pasien untuk menentukan diri sendiri, yaitu pasien berhak
menerima atau menolak tindakan atas dirinya setelah diberi penjelasan
sejelas-jelasnya.
Pelaksanaan informed consent cukup sulit terbukti
masih ditemukan beberapa masalah yang dihadapi oleh pihak bidan atau rumah
sakit atau rumah bersalin, yaitu:
1. Pengertian
kemampuan secara hukum dari orang yang akan menjalani tindakan, serta siapa
yang berhak menandatangani surat persetujuan dimana harus ditentukan peraturan
mengenai batas usia, kesadaran, kondisi mentalnya dan sebagainya. Sampai sejauh
mana orang yang sedang merasa kesakitan, seperti misalnya ibu inpartu mampu
menetapkan pilihan atau berkonsentrasi terhadap penjelasan yang diberikan.
Apakah orang dalam keadaan sakit mampu secara hukum menyatakan persetujuan.
2. Masalah wali
yang sah. Timbul apabila pasien atau ibu tidak mampu secara hukum untuk
menyatakan persetujuannya.
3. Masalah
informasi yang diberikan yaitu seberap jauh informasi dianggap telah dijelaskan
dengan cukup jelas, tetapi juga tidak terlalu terinci sehingga dianggap
menakut-nakuti.
4. Dalam
memberikan persetujuan, apakah diperlukan sanksi, apabila diperlukan apakah
sanksi tersebut perlu menandatangani formulir yang ada. Bagaimana menentukan
sanksi.
5. Dalam
keadaan darurat, misalnya kasus perdarahan pada ibu hamil, dan keluarganya
belum dapat dihubungi, dalam keadaan seperti ini siapakah yang berhak
memberikan persetujuan, sementara pasien perlu segera ditolong. Bagaimana
perlindungan hukum kepada si bidan yang melakukan tindakan atas dasar keadaan
darurat dan dalam upaya penyelamatan jiwa ibu dan janinnya.
Akhirnya bahwa manfaat informed consent adalah untuk
mengurangi keadaan malpraktek dan agar bidan lebih berhati-hati dan alur
pemberian informasi benar-benar dilakukan dalam memberikan pelayanan kebidanan.
5)
Contoh Informed Consent Dalam Tindakan Persalinan
Bidan Praktek Swasta................
Alamat.......................................
Telp...........................................
Kode Pos...................................
Telp...........................................
Kode Pos...................................
PERSETUJUAN
TINDAKAN PERTOLONGAN PERSALINAN
Nomor:........
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :
Tempat/Tinggal Lahir :
Alamat :
Kartu Identitas :
Pekerjaan :
Selaku individu yang meminta bantuan pada fasilitas
kesehatan ini, bersama ini menyatakan kesediaannya untuk dilakukan tindakan dan
prosedur pertolongan persalinan pada diri saya berikan setelah mendapat
penjelasan dari bidan yang berwenang di fasilitas kesehatan tersebut diatas,
sebagaimana berikut ini:
1. Diagnosis kebidanan ………………………………………………….
2. Untuk
melakukan pertolongan persalinan, perlu dilakukan tindakan………………………………………………………………..
3. Setiap
tindakan kebidanan yang dipilih bertujuan untuk kesejahteraan dan keselamatan
ibu dan janin. Namun demikian, sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, setiap
tindakan mempunyai resiko, baik yang telah diduga maupun yang tidak diduga
sebelumnya.
4. Penolong
telah pula menjelaskan bahwa ia akan berusaha sebaik mungkin untuk melakukan
tindakan pertolongan persalinan dan menghindarkan kemungkinan risiko, agar
diperoleh hasil asuhan kebidanan yang optimal.
5. Semua penjelasan
tersebut diatas, sudah saya maklumi dan dijelaskan dengan kalimat yang jelas
dan saya mengerti sehingga saya memaklumi arti tindakan atau asuhan kebidanan
yang saya alami. Dengan demikian terjadi kesalah pahaman diantara pasien dan
bidan tentang upaya serta tujuan, untuk mencegah timbulnya masalah hukum
dikemudian hari.
Apabila dalam keadaan dimana saya tidak mampu untuk
memperoleh penjelasan dan memberi persetujuan maka saya menyerahkan mandat
kepada suami atau wali saya yaitu:
Nama : ..............................................
Tempat/Tanggal Lahir : ..............................................
Alamat : ..............................................
Kartu Identitas
: ..............................................
Pekerjaan : ..............................................
Demikian agar saya maklum, surat persetujuan ini saya
buat tanpa paksaan dari pihak manapun dan agar dapat dipergunakan sebagaimana
mestinya.
...............................,...........
Bidan Yang Memberi Persetujuan
Pasien
(............................) (...............................)
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Informed concent merupakan butir yang paling penting,
sebagai bukti persetujuan ataupun penolakan terhadap tindakan yang akan
dilakukan.
Melalui Informed concent sesuai dengan hak pasien
untuk menentukan diri sendiri, yaitu pasien berhak menerima atau menolak
tindakan atas dirinya setelah diberi penjelasan sejelas-jelasnya. baik klien
maupun keluarga merasa dilibatkan dalam penentuan pengambilan keputusan.
Sehingga baik persetujuan maupun penolakan sebaiknya dituangkan dalam bentuk
tertulis, jika terjadi permasalahan, maka secara hukum petugas kesehatan
mempunyai kekuatan hukum karena mempunyai bukti tertulis, yang menunjukkan
bahwa prosedur pemberian informasi telah dilalui dan keputusan ada di tangan
klien untuk menyetujui atau menolak.
B. Saran
Demi
memajukan keterampilan dan pengetahuan seorang bidan, harus terus meningkatkan
pengetahuan dan keterampilannya dalam berbagai aspek agar dapat membuat
keputusan klinis dan secara teoritis agar dapat memberikan pelayanan yang aman
dan memuaskan kliennya. Maka informed consent harus di lakukan kepada
klien sebagai persetujuan klien atas tindakan yang akan dilakukan atas dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar