MAKALAH KOMUNIKASI DALAM PRAKTEK KEBIDANAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pengertian observasi dapat di
rumuskan sebagai berikut: “Observasi ialah metode atau cara yang menganalisis
dan mengadakan pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan
melihat atau mengamati individu atau kelompok secara langsung”.
Cara atau metode tersebut dapat
juga dikatakan dengan menggunakan teknik dan alat-alat khusus seprti
blangko-blangko, checklist, atau daftar isian yang telah di persiapkan
sebelumnya. Dengan demikian, secara garis besar teknik observasi dapat di bagi
menjadi dua, yaitu:
1) Structured or controlled
observation(observasi yang di rencanakan,terkontrol)
2) Unstructure or
informal observation(observasi informasi atau tidak terencanakan lebih dahulu).
Pada structured observation,
biasanya pengamat menggunakan blangko-blangko daftar isian yang tersusun.dan di
dalamnya telah tercantum aspek-aspek ataupun gejala-gejala apa saja yang perlu
di perhatikan pada, yaitu waktu pengamatan itu di lakukan. Adapun pada
unstructured observasion, pada umumnya pengamat belum atau tidak mengetahui
sebelumnya apa yang sebenarnya harus di catat dalam pengamatan itu. Aspek-aspek
atau peristiwanya tidak terduga sebelumnya.
B. TUJUAN
1. Tujuan umum
Mampu atau mengetahui cara atau prosedur dalan keterampilan observasi.
2.Tujuan khusus
Di gunakan untuk mengetahui keterampilan observasi dan menganalisis
contoh kasus.
Mengetahui komunikasi verbal dan non verbal.
C. MANFAAT
1. Bagi Mahasiswa
Menambah wawasan dan keterampilan dalam melakukan keterampilan observasi.
2. Bagi Institusi
Menambah referensi bagi Institusi pendidikan guna meningkatkan mutu
pendidikan.
D. MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahanya
sebagai berikut: “Bagaimana cara melakukan observasi komunikasi konseling?”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KETERAMPILAN OBSERVASI
Observasi ialah metode atau cara yang menganalisis dan mengadakan
pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat atau
mengamati individu atau kelompok secara langsung. Pengamatan (observasi) merupakan
suatu cara pengumpulan data yang pengisiannya berdasarkan atas pengamatan
langsung terhadap sikap dan perilaku individu atau
kelompok.
1. Tingkah laku verbal dan non
verbal
a. Komunikasi verbal
Komunikasi verbal adalah
komunikasi yang menggunakan kata-kata baik secara lisan maupun tertulis. Komunikasi
verbal (verbal communication) adalah bentuk komunikasi yang disampaikan
komunikator kepada komunikan dengan cara tertulis atau lisan. Bahasa verbal merupakan sarana untuk menyampaikan perasaan, pikiran dan
maksud tujuan.
Aspek dalam komunikasi verbal
yaitu perbendaharaan kata-kata(vocabulary), kecepatan(racing),
intonasi suara, humor, waktu yang tepat dan singkat.
Menurut Larry L. Barker (dalam
Deddy Mulyana,2005), bahasa mempunyai tiga fungsi: penamaan (naming atau
labeling), interaksi, dan transmisi informasi.
1. Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasikan objek,
tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam
komunikasi.
2.
Fungsi interaksi menekankan
berbagi gagasan dan emosi, yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau
kemarahan dan kebingungan.
3.
Melalui bahasa, informasi dapat
disampaikan kepada orang lain, inilah yang disebut fungsi transmisi dari
bahasa. Keistimewaan bahasa sebagai fungsi transmisi informasi yang
lintas-waktu, dengan menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan,
memungkinkan kesinambungan budaya dan tradisi kita.
b. Komunikasi
non verbal
Komunikasi non verbal adalah pesan yang di sampaikan dalam komunikasi di
kemas dalam bentuk non verbal, tanpa kata-kata. Komunikasi non verbal adalah
setiap bentuk perilaku manusia yang langsung dapat diamati oleh orang lain dan
yang mengandung informasi tertentu tentang pengirim atau pelakunya.
1) Bentuk
komunikasi non verbal
a) Bahasa
tubuh: meliputi lambaian tangan, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, gerakan
kepala, sikap atau postur tubuh, dan lain-lain.
b) Tanda: dalam
komunikasi non verbal menggantikan kata-kata, misal: bendara putih mengartikan
ada lelayu
c) Tindakan
atau perbuatan: tindakan tidak menggantikan kata-kata tetapi mengandung makna,
misal: menggebrak meja berarti marah.
d) Objek: objek tidak
menggantikan kata-kata tetapi juga mengandung makna, misal: pakaian
mencerminkan gaya hidup seseorang
e) Warna:
menunjukan warna emosional, cita rasa, keyakinan agama, politik, dan lain-lain,
misal: warna merah muda adalah warna feminim.
2)
Fungsi pesan nonverbal
Mark L. Knapp (dalam Jalaludin,
1994), menyebut lima fungsi pesan nonverbal yang dihubungkan dengan pesan
verbal:
1. Repetisi, yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara
verbal. Misalnya setelah mengatakan
penolakan saya, saya menggelengkan kepala.
2. Substitusi, yaitu menggantikan lambang-lambang verbal. Misalnya tanpa sepatah katapun kita berkata, kita menunjukkan
persetujuan dengan mengangguk-anggukkan kepala.
3. Kontradiksi, menolak pesan verbal atau memberi makna yang lain terhadap
pesan verbal. Misalnya anda ’memuji’ prestasi teman dengan mencibirkan bibir,
seraya berkata ”Hebat, kau memang hebat.”
4. Komplemen, yaitu melengkapi dan memperkaya makna pesan nonverbal. Misalnya,
air muka anda menunjukkan tingkat penderitaan yang tidak terungkap dengan
kata-kata.
5. Aksentuasi, yaitu menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinya. Misalnya, anda mengungkapkan betapa jengkelnya anda dengan memukul meja.
2. Pengamatan
dan Penafsiran
Pengamatan
objektif adalah berbagai tingkah laku yang biasa
dilihat dan didengar. Sedangkan penafsiran/interprestasi adalah kesan yang kita
berikan pada apa yang kita lihat dan dengar.
Tahap-tahap
interprestasi meliputi:
5. Interprestasi;
konselor memperkenalkan konsep-konsep hubungan yang berakar dari pengalaman.
B. JENIS
OBSERVASI
Ada
beberapa jenis observasi yang lazim dilakukan oleh konselor atau peneliti,
yaitu :
1. Dilihat
dari keterlibatan subyek terhadap obyek yang sedang diobservasi (observee),
observasi bisa dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
a. Observasi
partisipan,
yaitu bila pihak yang melakukan observasi (observer) turut serta atau
berpartisipasi dalam kegiatan yang sedang diobservasi (observee). Observasi
partisipan juga sering digunakan dalam penelitian eksploratif.Observasi
partisipan ini memiliki kelebihan, yaitu observee bisa jadi tidak mengetahui
bahwa mereka sedang diobservasi, sehingga perilaku yang nampak diharapkan wajar
atau tidak dibuat – buat. Disisi lain, observasi partisipan mengandung
kelemahan, terutama berkaitan dengan kecermatan dalam melakukan pengamatan dan
pencatatan, sebab ketika observer terlibat langsung dalam aktifitas yang sedang
dilakukan observee, sangat mungkin observer tidak bisa melakukan pengamatan dan
pencatatan secara detail.
b. Observasi
non – partisipan,
yaitu bila observer tidak secara langsung atau tidak berpartisipasi dalam
aktifitas yang sedang dilakukan oleh observee.Observasi non – partisipan ini
memiliki kelebihan, yaitu observer bisa melakukan pengamatan dan pencatatan
secara detail dan cermat terhadap segala aktivitas yang dilakukan observee.
Disisi lain, bentuk ini juga memiliki kelemahan yaitu bila observee mengetahui
bahwa mereka sedang diobeservasi, maka perilakunya biasanya buat – buat atau
tidak wajar. Akibatnya, observer tidak mendapatkan data yang asli.
c. Observasi
kuasi – partisipan, yaitu
bila observer terlibat pada sebagian kegiatan yang sedang dilakukan oleh
observee, sementara pada sebagian kegiatan lain observer tidak melibatkan diri.
Bentuk ini merupakan jalan tengah untuk mengatasi kelemahan kedua bentuk
observasi di atas, dan sekaligus memanfaatkan kelebihan dari kedua bentuk
tersebut.
2. Dilihat
dari segi situasi lingkungan dimana subjek diobservasi, Gall dkk (2003 : 254)
membedakan observasi menjadi dua, yaitu :
a. Observasi naturalistik, jika observasi dilakukan secara
alamiah atau dalam kondisi apa adanya. Contoh : melihat pertandingan sepak
bola, guru mengamati murid ketika sedang bermain
di halaman sekolah, seorang peneliti mengamati perilaku binatang di hutan atau
kebun binatang.
b. Observasi eksperimental, jika observasi itu dilakukan
terhadap subjek dalam suasana eksperimen atau kondisi yang diciptakan. Contoh :
para ilmuwan mengamati perubahan hewan percobaannya yang diberi vaksin dengan
hewan yang tidak diberi vaksin.
3. Khususnya
bentuk observasi sistematis, Blocher (1987) mengelompokan ke dalam tiga bentuk
dasar observasi, yaitu :
a. Observasi naturalistik, yaitu ketika sesorang ingin
mengobservasi subjek (observee) dalam kondisi alami atau natural.
b. Metode survai, yaitu ketika seseorang mensurvai
(mengobservasi) contoh – contoh tertentu dari perilaku individu yang ingin kita
nilai.
c. Eksperimentasi, yaitu ketika sesorang tidak hanya
mengobservasi tetapi memaksakan kondisi – kondisi spesifik terhadap subjek yang
diobservasi.
4. Berdasarkan
pada tujuan dan lapangannya, Hanna Djumhana (1983 : 205) mengelompokkan
observasi menjadi, yaitu :
a. Finding observasi, yaitu kegiatan observasi untuk
tujuan penjajagan. Dalam melakukan observasi ini observer belum mengetahui dengan
jelas apa yang harus diobservasi, ia hanya mengetahui bahwa ia akan mengahadapi
suatu situasi saja. Selama berhadapan dengan situasi itu, ia bersikap menjajagi
saja, kemudian ia mengamati berbagai variabel yang mungkin dapat dijadikan
bahan untuk menyusun observasi yang lebih terarah.
b. Direct observation, yaitu observasi yang menggunakan
“daftar isi” sebagai pedomannya. Daftar ini bisa berupa checklist kategori tingkah laku yang diobservasi. Pada umumnya
pembuatan daftar isian ini didasarkan pada data yang diperoleh dari finding observation dan atau penjabaran
dari konsep dalam teori yang dipandang sudah mapan.
5. Berdasarkan
pada tingkat kesempurnaannya dan pelatihan yang disyaratkan, Gibson &
Mitchell (1995 : 261), mengklasifikasikan observasi sebagai berikut :
a. Level pertama, observasi informasi kasual (casual information observation ).
Observasi jenis ini banyak dilakukan dalam kehidupan sehari – hari dengan tidak
terstruktur, dan biasanya observasi – observasi yang tidak terencana yang
memberikan kesan – kesan kasual yang terjadi sehari –hari oleh orang – orang di
dekat kita. Tidak ada pelatihan atau instrumentasi yang diharapkan atau
disyaratkan.
b. Level kedua, observasi
terstruktur (guided observation).
Terencana, diarahkan pada sebuah maksud atau tujuan. Observasi pada tingkat ini
biasanya difasilitasi oleh instrumen yang sederhana seperti cheklist dan skala penilaian. Beberapa training juga diperlukan.
c. Level ketiga, level
klinis. Observasi,
selalu diperpanjang, dan sering dengan kondisi – kondisi yang terkontrol.
Teknik – teknik dan instrumen – instrumen yang digunakan direncanakan dengan
baik, dan digunakan melalui pelatihan secara khusus, biasanya diberikan pada
level doktoral. (Pemahaman Individu oleh Drs. Anwar Sutoyo, M.Pd, 2012 : 86 –
91)
C. ANALISA
OBSERVASI
Gibson (1995 : 263) menyarankan agar
dalam melakukan analisis selama atau setelah observasi memperhatikan hal – hal
sebagai berikut :
1. Mengamati satu klien dalam satu
waktu. Observasi
untuk analisis individu sebaiknya difokuskan pada individu tersebut. Utamanya
terhadap perilaku klien secara detail yang mungkin berguna dalam konseling.
2. Ada kriteria
spesifik untuk melakukan observasi. Konselor hendaknya selalu ingat bahwa
observasi yang dilakukan adalah untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh sebab itu,
ketika melakukan analisis hendaknya difokuskan pada hal – hal yang berkaitan
dengan tujuan observasi.
3. Observasi seharusnya dilakukan tanpa
batas waktu.
Utamanya dalam dunia pendidikan, observasi dalam rangka konseling sebaiknya
tidak hanya dibatasi pada waktu tertentu saja, tetapi dilakukan secara
berkesinambungan ini sekurang – kurangnya memiliki dua manfaat, yaitu untuk
validasi dan evaluasi.
4. Konseli seharusnya diamati dalam
situasi yang natural dan berbeda.
Perilaku natural kebanyakan terjadi dalam situasi yang juga natural. Meskipun
situasi naturalitu beragam antara satu orang dengan yang lain, tetapi ada
situasi umum yang kurang lebih sama,
misalnya : ketika di sekolah, di rumah, ketika berhubungan dengan teman, dengan
guru, dengan karyawan, dan dengan orang dewasa lainnya. Sebab bisa jadi
seseorang ketika di tengah – tengah keluarga menunjukkan perilaku sopan, tetapi
ketika berhubungan dengan orang – orang di luar rumah terjadi sebaliknya.
Mengamati perilaku dalam situasi yang berbeda itu sangat membantu dalam
penyimpulan apakah karakteristik tingkah laku tersebut konsisten atau tidak.
5. Mengamati klien dalam konteks semua
situasi atau situasi total.
Dalam melakukan observasi terhadap tingkah laku manusia, sangatlah penting
menghindari pendekatan “tunnel vision”, dimana kita hanya bermaksud mengamati
klien secara visual atau sebatas yang tampak mata, tetapi observasi sebaiknya
dilakukan dengan melihat faktor – faktor yang mendorong munculnya tingkah laku
tersebut, sehingga kita bisa memberi makna yang lebih tepat terhadap tingkah
laku yang kita amati.
6. Data dari observasi seharusnya
digabungkan dengan data yang lain.
Dalam analisis individu sangatlah penting untuk menggabungkan semua yang
diketahui tentang konseli. Hal ini karena untuk melihat konseli sebagai seorang
manusia yang utuh, semua kesan yang didapatkan dari observasi harus dipadukan
dengan semua informasi yang mungkin didapatkan. Teknik studi kasus yang
diguanakan oleh sebagian besar bantuan profesional memberikan ilustrasi
terhadap integrasi dan hubungan antar data sebelum dilakukan interpretasi.
7. Observasi seharusnya dilakukan dalam
kondisi yang menyenangkan. Dalam
melakukan observasi sangat diharapkan observer berada pada posisi yang cukup
jelas untuk melihat apa yang ingin dilaporkan. Idealnya, observer mampu
melakukan observasi dalam waktu yang cukup tanpa halangan dan gangguan, serta
kondisi yang menyenangkan untuk melakukan observasi. Observer seharusnya juga
siap terhadap kemungkinan lain yang mungkin terjadi ketika seseorang diamati
memodifikasi perilakunya karena dia sadar bahwa dirinya sedang diamati.
(Pemahaman Individu oleh Drs. Anwar Sutoyo, M.Pd, 2012 : 124 -126)
thanks...sangat bermannfaat
BalasHapusMakasih,, sangat bermanfaat
BalasHapus