Kamis, 08 Mei 2014

MAKALAH OBSERVASI ( perilaku verbal dan non verbal, pengamatan dan penafsiran )


MAKALAH KOMUNIKASI DALAM PRAKTEK KEBIDANAN




BAB  I
PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG
Pengertian observasi dapat di rumuskan sebagai berikut: “Observasi ialah metode atau cara yang menganalisis dan mengadakan pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat atau mengamati individu atau kelompok secara langsung”.
Cara atau metode tersebut dapat juga dikatakan dengan menggunakan teknik dan alat-alat khusus seprti blangko-blangko, checklist, atau daftar isian yang telah di persiapkan sebelumnya. Dengan demikian, secara garis besar teknik observasi dapat di bagi menjadi dua, yaitu:
1)  Structured or controlled observation(observasi yang di rencanakan,terkontrol)
2)  Unstructure or informal observation(observasi informasi atau tidak terencanakan lebih dahulu).
Pada structured observation, biasanya pengamat menggunakan blangko-blangko daftar isian yang tersusun.dan di dalamnya telah tercantum aspek-aspek ataupun gejala-gejala apa saja yang perlu di perhatikan pada, yaitu waktu pengamatan itu di lakukan. Adapun pada unstructured observasion, pada umumnya pengamat belum atau tidak mengetahui sebelumnya apa yang sebenarnya harus di catat dalam pengamatan itu. Aspek-aspek atau peristiwanya tidak terduga sebelumnya.

B.     TUJUAN
 1. Tujuan umum
Mampu atau mengetahui cara atau prosedur dalan keterampilan observasi.


2.Tujuan khusus
Di gunakan untuk mengetahui keterampilan observasi dan menganalisis contoh kasus.
Mengetahui komunikasi verbal dan non verbal.

C.     MANFAAT
1.     Bagi Mahasiswa
Menambah wawasan dan keterampilan dalam melakukan keterampilan observasi.
2.      Bagi Institusi
Menambah referensi bagi Institusi pendidikan guna meningkatkan mutu pendidikan.

D.     MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahanya sebagai berikut: “Bagaimana cara melakukan observasi komunikasi konseling?”.












BAB II
PEMBAHASAN

A.   KETERAMPILAN OBSERVASI
Observasi ialah metode atau cara yang menganalisis dan mengadakan pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat atau mengamati individu atau kelompok secara langsung. Pengamatan (observasi) merupakan suatu cara pengumpulan data yang pengisiannya berdasarkan atas pengamatan langsung terhadap sikap dan perilaku individu atau kelompok.
1.    Tingkah laku verbal dan non verbal
a.  Komunikasi verbal
Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan kata-kata baik secara lisan maupun tertulis. Komunikasi verbal (verbal communication) adalah bentuk komunikasi yang disampaikan komunikator kepada komunikan dengan cara tertulis atau lisan. Bahasa verbal merupakan sarana untuk menyampaikan perasaan, pikiran dan maksud tujuan.
Aspek dalam komunikasi verbal yaitu perbendaharaan kata-kata(vocabulary), kecepatan(racing), intonasi suara, humor, waktu yang tepat dan singkat.
                                  
Menurut Larry L. Barker (dalam Deddy Mulyana,2005), bahasa mempunyai tiga fungsi: penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi.
1.      Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasikan objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi.
2.      Fungsi interaksi menekankan berbagi gagasan dan emosi, yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan.
3.      Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain, inilah yang disebut fungsi transmisi dari bahasa. Keistimewaan bahasa sebagai fungsi transmisi informasi yang lintas-waktu, dengan menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan, memungkinkan kesinambungan budaya dan tradisi kita.
b.     Komunikasi non verbal
Komunikasi non verbal adalah pesan yang di sampaikan dalam komunikasi di kemas dalam bentuk non verbal, tanpa kata-kata. Komunikasi non verbal adalah setiap bentuk perilaku manusia yang langsung dapat diamati oleh orang lain dan yang mengandung informasi tertentu tentang pengirim atau pelakunya.
1)        Bentuk komunikasi non verbal
a)    Bahasa tubuh: meliputi lambaian tangan, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, gerakan kepala, sikap atau postur tubuh, dan lain-lain.
b)   Tanda: dalam komunikasi non verbal menggantikan kata-kata, misal: bendara putih mengartikan ada lelayu
c)    Tindakan atau perbuatan: tindakan tidak menggantikan kata-kata tetapi mengandung makna, misal: menggebrak meja berarti marah.
d)   Objek: objek tidak menggantikan kata-kata tetapi juga mengandung makna, misal: pakaian mencerminkan gaya hidup seseorang
e)    Warna: menunjukan warna emosional, cita rasa, keyakinan agama, politik, dan lain-lain, misal: warna merah muda adalah warna feminim.
2)    Fungsi pesan nonverbal
Mark L. Knapp (dalam Jalaludin, 1994), menyebut lima fungsi pesan nonverbal yang dihubungkan dengan pesan verbal:
1.    Repetisi, yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara verbal. Misalnya setelah mengatakan penolakan saya, saya menggelengkan kepala.
2.    Substitusi, yaitu menggantikan lambang-lambang verbal. Misalnya tanpa sepatah katapun kita berkata, kita menunjukkan persetujuan dengan mengangguk-anggukkan kepala.
3.    Kontradiksi, menolak pesan verbal atau memberi makna yang lain terhadap pesan verbal. Misalnya anda ’memuji’ prestasi teman dengan mencibirkan bibir, seraya berkata ”Hebat, kau memang hebat.”
4.    Komplemen, yaitu melengkapi dan memperkaya makna pesan nonverbal. Misalnya, air muka anda menunjukkan tingkat penderitaan yang tidak terungkap dengan kata-kata.
5.    Aksentuasi, yaitu menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinya. Misalnya, anda mengungkapkan betapa jengkelnya anda dengan memukul meja.
2.    Pengamatan dan Penafsiran
Pengamatan objektif adalah berbagai tingkah laku yang biasa dilihat dan didengar. Sedangkan penafsiran/interprestasi adalah kesan yang kita berikan pada apa yang kita lihat dan dengar.
Tahap-tahap interprestasi meliputi:
1.    Refleksi perasaan; konselor tidak jauh dari apa yang dikatakan klien.
2.    Klarifikasi; menjelaskan apa yang tersirat dalam perkataan klien.
3.    Refleksi; penilaian konselor terhadap apa yang diungkapkan klien.
4.    Konfrontasi; konselor membawa kepada perhatian dan perasaan klien tanpa disadari.
5.    Interprestasi; konselor memperkenalkan konsep-konsep hubungan yang berakar dari pengalaman.


B.     JENIS OBSERVASI
Ada beberapa jenis observasi yang lazim dilakukan oleh konselor atau peneliti, yaitu :
1.   Dilihat dari keterlibatan subyek terhadap obyek yang sedang diobservasi (observee), observasi bisa dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
a.   Observasi partisipan, yaitu bila pihak yang melakukan observasi (observer) turut serta atau berpartisipasi dalam kegiatan yang sedang diobservasi (observee). Observasi partisipan juga sering digunakan dalam penelitian eksploratif.Observasi partisipan ini memiliki kelebihan, yaitu observee bisa jadi tidak mengetahui bahwa mereka sedang diobservasi, sehingga perilaku yang nampak diharapkan wajar atau tidak dibuat – buat. Disisi lain, observasi partisipan mengandung kelemahan, terutama berkaitan dengan kecermatan dalam melakukan pengamatan dan pencatatan, sebab ketika observer terlibat langsung dalam aktifitas yang sedang dilakukan observee, sangat mungkin observer tidak bisa melakukan pengamatan dan pencatatan secara detail.
b.   Observasi non – partisipan, yaitu bila observer tidak secara langsung atau tidak berpartisipasi dalam aktifitas yang sedang dilakukan oleh observee.Observasi non – partisipan ini memiliki kelebihan, yaitu observer bisa melakukan pengamatan dan pencatatan secara detail dan cermat terhadap segala aktivitas yang dilakukan observee. Disisi lain, bentuk ini juga memiliki kelemahan yaitu bila observee mengetahui bahwa mereka sedang diobeservasi, maka perilakunya biasanya buat – buat atau tidak wajar. Akibatnya, observer tidak mendapatkan data yang asli.
c.   Observasi kuasi – partisipan, yaitu bila observer terlibat pada sebagian kegiatan yang sedang dilakukan oleh observee, sementara pada sebagian kegiatan lain observer tidak melibatkan diri. Bentuk ini merupakan jalan tengah untuk mengatasi kelemahan kedua bentuk observasi di atas, dan sekaligus memanfaatkan kelebihan dari kedua bentuk tersebut.
2.    Dilihat dari segi situasi lingkungan dimana subjek diobservasi, Gall dkk (2003 : 254) membedakan observasi menjadi dua, yaitu :
a.   Observasi naturalistik, jika observasi dilakukan secara alamiah atau dalam kondisi apa adanya. Contoh : melihat pertandingan sepak bola, guru mengamati murid ketika sedang bermain di halaman sekolah, seorang peneliti mengamati perilaku binatang di hutan atau kebun binatang.
b.   Observasi eksperimental, jika observasi itu dilakukan terhadap subjek dalam suasana eksperimen atau kondisi yang diciptakan. Contoh : para ilmuwan mengamati perubahan hewan percobaannya yang diberi vaksin dengan hewan yang tidak diberi vaksin.
3.   Khususnya bentuk observasi sistematis, Blocher (1987) mengelompokan ke dalam tiga bentuk dasar observasi, yaitu :
a.   Observasi naturalistik, yaitu ketika sesorang ingin mengobservasi subjek (observee) dalam kondisi alami atau natural.
b.   Metode survai, yaitu ketika seseorang mensurvai (mengobservasi) contoh – contoh tertentu dari perilaku individu yang ingin kita nilai.
c.   Eksperimentasi, yaitu ketika sesorang tidak hanya mengobservasi tetapi memaksakan kondisi – kondisi spesifik terhadap subjek yang diobservasi.
4.   Berdasarkan pada tujuan dan lapangannya, Hanna Djumhana (1983 : 205) mengelompokkan observasi  menjadi, yaitu :
a.   Finding observasi, yaitu kegiatan observasi untuk tujuan penjajagan. Dalam melakukan observasi ini observer belum mengetahui dengan jelas apa yang harus diobservasi, ia hanya mengetahui bahwa ia akan mengahadapi suatu situasi saja. Selama berhadapan dengan situasi itu, ia bersikap menjajagi saja, kemudian ia mengamati berbagai variabel yang mungkin dapat dijadikan bahan untuk menyusun observasi yang lebih terarah.
b.    Direct observation, yaitu observasi yang menggunakan “daftar isi” sebagai pedomannya. Daftar ini bisa berupa checklist kategori tingkah laku yang diobservasi. Pada umumnya pembuatan daftar isian ini didasarkan pada data yang diperoleh dari finding observation dan atau penjabaran dari konsep dalam teori yang dipandang sudah mapan.
5.   Berdasarkan pada tingkat kesempurnaannya dan pelatihan yang disyaratkan, Gibson & Mitchell (1995 : 261), mengklasifikasikan observasi sebagai berikut :
a.   Level pertama, observasi informasi kasual (casual information observation ). Observasi jenis ini banyak dilakukan dalam kehidupan sehari – hari dengan tidak terstruktur, dan biasanya observasi – observasi yang tidak terencana yang memberikan kesan – kesan kasual yang terjadi sehari –hari oleh orang – orang di dekat kita. Tidak ada pelatihan atau instrumentasi yang diharapkan atau disyaratkan.
b.   Level kedua, observasi terstruktur (guided observation). Terencana, diarahkan pada sebuah maksud atau tujuan. Observasi pada tingkat ini biasanya difasilitasi oleh instrumen yang sederhana seperti cheklist dan skala penilaian. Beberapa training juga diperlukan.
c.    Level ketiga, level klinis. Observasi, selalu diperpanjang, dan sering dengan kondisi – kondisi yang terkontrol. Teknik – teknik dan instrumen – instrumen yang digunakan direncanakan dengan baik, dan digunakan melalui pelatihan secara khusus, biasanya diberikan pada level doktoral. (Pemahaman Individu oleh Drs. Anwar Sutoyo, M.Pd, 2012 : 86 – 91)









C.    ANALISA OBSERVASI
Gibson (1995 : 263) menyarankan agar dalam melakukan analisis selama atau setelah observasi memperhatikan hal – hal sebagai berikut :
1.   Mengamati satu klien dalam satu waktu. Observasi untuk analisis individu sebaiknya difokuskan pada individu tersebut. Utamanya terhadap perilaku klien secara detail yang mungkin berguna dalam konseling.
2.    Ada kriteria spesifik untuk melakukan observasi. Konselor hendaknya selalu ingat bahwa observasi yang dilakukan adalah untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh sebab itu, ketika melakukan analisis hendaknya difokuskan pada hal – hal yang berkaitan dengan tujuan observasi.
3.    Observasi seharusnya dilakukan tanpa batas waktu. Utamanya dalam dunia pendidikan, observasi dalam rangka konseling sebaiknya tidak hanya dibatasi pada waktu tertentu saja, tetapi dilakukan secara berkesinambungan ini sekurang – kurangnya memiliki dua manfaat, yaitu untuk validasi dan evaluasi.
4.    Konseli seharusnya diamati dalam situasi yang natural dan berbeda. Perilaku natural kebanyakan terjadi dalam situasi yang juga natural. Meskipun situasi naturalitu beragam antara satu orang dengan yang lain, tetapi ada situasi umum  yang kurang lebih sama, misalnya : ketika di sekolah, di rumah, ketika berhubungan dengan teman, dengan guru, dengan karyawan, dan dengan orang dewasa lainnya. Sebab bisa jadi seseorang ketika di tengah – tengah keluarga menunjukkan perilaku sopan, tetapi ketika berhubungan dengan orang – orang di luar rumah terjadi sebaliknya. Mengamati perilaku dalam situasi yang berbeda itu sangat membantu dalam penyimpulan apakah karakteristik tingkah laku tersebut konsisten atau tidak.
5.    Mengamati klien dalam konteks semua situasi atau situasi total. Dalam melakukan observasi terhadap tingkah laku manusia, sangatlah penting menghindari pendekatan “tunnel vision”, dimana kita hanya bermaksud mengamati klien secara visual atau sebatas yang tampak mata, tetapi observasi sebaiknya dilakukan dengan melihat faktor – faktor yang mendorong munculnya tingkah laku tersebut, sehingga kita bisa memberi makna yang lebih tepat terhadap tingkah laku yang kita amati.
6.    Data dari observasi seharusnya digabungkan dengan data yang lain. Dalam analisis individu sangatlah penting untuk menggabungkan semua yang diketahui tentang konseli. Hal ini karena untuk melihat konseli sebagai seorang manusia yang utuh, semua kesan yang didapatkan dari observasi harus dipadukan dengan semua informasi yang mungkin didapatkan. Teknik studi kasus yang diguanakan oleh sebagian besar bantuan profesional memberikan ilustrasi terhadap integrasi dan hubungan antar data sebelum dilakukan interpretasi.
7.    Observasi seharusnya dilakukan dalam kondisi yang menyenangkan. Dalam melakukan observasi sangat diharapkan observer berada pada posisi yang cukup jelas untuk melihat apa yang ingin dilaporkan. Idealnya, observer mampu melakukan observasi dalam waktu yang cukup tanpa halangan dan gangguan, serta kondisi yang menyenangkan untuk melakukan observasi. Observer seharusnya juga siap terhadap kemungkinan lain yang mungkin terjadi ketika seseorang diamati memodifikasi perilakunya karena dia sadar bahwa dirinya sedang diamati. (Pemahaman Individu oleh Drs. Anwar Sutoyo, M.Pd, 2012 : 124 -126)














2 komentar: